Dia seorang mahasiswi di salah satu Perguruan Tinggi Islam kota Malang. Dari penampilannya, nampak bahwa dia seorang muslimah yang taat: berbusana islami, plus berjilbab. Suatu ketika, usai kuliah, seperti biasanya dia menunggu angkutan umum untuk segera pulang dan beistirahat melepas lelah di rumahnya. Siang itu cuaca sangat panas, maka ketika angkutan umum datang, segera saja dia masuk dan duduk sembari langsung membuka kaca jendela mobil. Lumayan, sepoian angin yang masuk dari celah kaca sedikit mengurangi panasnya terik matahari. Asal tahu saja, hampir semua sisi pakaiannya basah karena kucuran keringat. Bisa dibayangkan bagaiana gerahnya mengenakan pakaian serba tertutup. Hanya telapak tangan dan wajah yang terbuka.
Memang, sepanas apapun cuacanya, jika di tempat umum, seorang muslimah diyakininya wajib tetap menutupi aurat badan. Kecuali –seperti disebut tadi– telapak tangan dan wajah. Baginya, berpakaian tertutup rapi dan berjilbab merupakan busana islami. Tanpa berjilbab, apalagi berpakaian you can see, jelas bukan busana islami. Demikian pemahamannya seputar ajaran Islam mengenai penampilan seorang muslimah. Terlebih lagi dia adalah alumni sebuah pesantren, alias santriwati.
Tidak lama setelah dia duduk di dalam angkutan, tiba-tiba masuk sosok wanita yang tak mengenakan jilbab. Pakaian bawah yang dipakai wanita yang baru datang itu berjenis rok sepan,, dan sedikit di atas lutut. Sekilas, nampak bedanya penampilan dua wanita dalam angkutan umum tadi. Yang satu berbusana muslimah, sedang lainnya berpakaian you can see. Orang awam pun bisa menilai mana pakaian yang islami dan mana yang bukan islami. Toh demikian, ada satu hal yang seketika menyentak jiwa si wanita berpenampilan “islami”. Akunya, bagaikan disambar geledek di siang hari ketika dia mendengar ucapan dari sosok wanita yang baru datangg tadi masuk kendaraan. Dengan pelan tapi matap, sang wanita yang berpakaian you can see mengucapkan bismillahirrahmanirrahim sebelum kemudian naik dan masuk ke dalam kendaraan.
Kejadian itu sempat membuatnya sok. Jiwanya bergejolak dan mempertanyakan: “bagaimana mungkin, saya dengan penampilan islami tidak mengucapkan basmalah ketika tadi naik kendaraan, sementara wanita di sebelah saya yang berpakaian tidak islami justru mengucapkan basmalah. Manakah yang lebih islami: berbusna muslimah tapi tidak terbiasa menyebut nama Allah saat beraktifitas, atau berpakaian you can see, namun selalu mengucapkan basmalah setiap kali akan melakukan sesuatu?
***
Kisah di atas adalah contoh dari sekian banyak realita dalam memahami hakekat Islam sebagai ajaran serta tuntunan dalam menjalankan hidup. Kalau boleh dipilah, akan nampak gambaran antara simbol dan makna religiuisitas. Berpenampilan secara islami adalah simbol, sementara pengucapan basmalah setiap kali akan melakukan sesuatu menjadi wujud penghambaan seseorang kepada Dzat Yang Maha Kuasa. Pertanyaannya, manakah yang lebih utama diantara keduanya? Mana yang seharusnya didahulukan antara simbol, atau hakekat makna beragama? Sebelum dijawab, ada baiknya jika kita merujuk bagaimana al-Qur’an membahas masalah tersebut.
Pesan dan seruan untuk menangkap makna yang ada di balik segi-segi formal dan lahiri adalah konsekuensi dari berbagai penegasan dalam Al-Quran bahwa selain formalitas-formalitas atau simbol-simbol terdapat makna-makna yang lebih hakiki, yang merupakan tujuan sebenarnya hidup keagamaan atau religiusitas. Misalnya formalitas dalam sistem keagamaan Islam, yaitu sentralitas Ka‘bah yang ada di Masjid Haram, Makkah. Sebagai arah menghadapkan diri atau kiblat di waktu shalat, Makkah dengan Masjid Haramnya yang berintikan Ka‘bah adalah penting sekali, sehingga dalam ilmu fiqih disebutkan bahwa shalat seseorang tidak sah jika tidak menghadap kiblat itu. Dan dalam Al-Quran sendiri terdapat perintah agar di mana pun, ketika shalat, kita menghadapkan diri kita ke arah Masjid Haram itu (Q., 2: 144, 149 dan 150). Tetapi juga ditegaskan bahwa Timur dan barat adalah milik Allah. Maka ke mana pun kamu menghadap, di sanalah Wajah Allah (Q., 2: 115).
Lebih jauh lagi, dalam kitab suci ditegaskan sebagai berikut, Bukanlah kebaikan itu ialah bahwa kamu menghadapkan wajah-wajahmu ke arah timur dan barat. Melainkan kebaikan itu ialah orang yang beriman kepada Allah, hari kemudian, para malaikat, kitab suci, dan para Nabi. Dan orang yang mendermakan hartanya, betapa pun cintanya (kepada harta itu), untuk keluarga dekat, anak-anak yatim, kaum miskin, orang jalanan, peminta-minta dan dalam usaha pembebasan budak. Dan orang yang menegakkan shalat, membayar zakat. Dan orang-orang yang menepati janji bila mengikat janji, dan tabah dalam kesulitan dan kesusahan, juga di waktu peperangan. Mereka itulah orang-orang yang sejati, dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa (Q., 2: 177).
Dari ketegasan di atas, bisa difaham bahwa simbol atau formalitas saja tidak cukup bagi seorang muslim dalam menjalankan agamanya. Menangkap makna atau pesan yang terkandung dalam formalitas ibadah adalah keniscayaan yang justru lebih utama. Percuma saja seseorang rajin menjalankan ibadah nahdlah, semisal shalat, puasa, haji dan sebagainya; tapi tidak mampu menangkap pesan sosial dari ibadah-ibadah tersebut. Ditegaskan: Maka ceakalahh orang-orang yang shalat (yaitu) orang-orang yng lali dari shalatnya, orang-orang yang berbuat riya’ dan enggan (menolong dengan) barang berguna.
Jelas sekali ayat itu menunjukkan semangat penolakan segi-segi formal dan simbolik sebagai tujuan pada dirinya sendiri. “Menghadapkan wajah ke arah timur dan ke barat”, menurut tafsir al-Thabari yang termasyhur, berdasarkan berbagai riwayat atau hadis, adalah isyarat kepada shalat, sehingga makna firman itu ialah bahwa “kebaikan itu bukanlah shalat semata, melainkan kebaikan itu ialah budi pekerti yang Aku (Allah) terangkan ini kepada sekalian”. Meski demikian, penulis tetap melihat perlunya seorang muslim memperhatikan simbol-simbol keberislamannya. Firman Allah: isyhaduu bi anna muslimun (tunjukkanlah bahwa kami adalah orang-orang Islam), memperkuat kewajiban kita untuk membanggakan formalitas dan simbol-simbol Islam.
Sebagai gambaran sederhana, perumpamaan uang dan kebutuhan menggunakannya adalah contoh antara simbol dan makna. Dalam perjalanan, misalnya, saat kita lapar ingin membeli makanan, uang menjadi simbol untuk mendapatkan makanan yang kita butuhkan. Makna kebutuhan uang adalah menghilangkan rasa lapar. Tanpa uang, bagaimana mungkin kita membeli makanan? Dari sini jelas di mana pentingnya posisi simbol. Sebagai ajaran, tentunya ada ciri-ciri khusus pembeda antara simbol-simbol Islam dengan ajaran-ajaran lainnya. Menunjukkan perbedaan formalitas seorang muslim dengan nonmuslim adalahh wujud nyata kebanggaan kepada Islam. Jika seorang muslim sudah menyepelekan simbol-simbol Islam, lantas siapa yang akan membanggakannya? Untuk menyikapi kisah di awal tulisan ini, semuanya terpulang kepada kecintaann serta kebanggaan masing-masing individu kepada agamanya. Wallahu a’lam bi alshawab.
Memang, sepanas apapun cuacanya, jika di tempat umum, seorang muslimah diyakininya wajib tetap menutupi aurat badan. Kecuali –seperti disebut tadi– telapak tangan dan wajah. Baginya, berpakaian tertutup rapi dan berjilbab merupakan busana islami. Tanpa berjilbab, apalagi berpakaian you can see, jelas bukan busana islami. Demikian pemahamannya seputar ajaran Islam mengenai penampilan seorang muslimah. Terlebih lagi dia adalah alumni sebuah pesantren, alias santriwati.
Tidak lama setelah dia duduk di dalam angkutan, tiba-tiba masuk sosok wanita yang tak mengenakan jilbab. Pakaian bawah yang dipakai wanita yang baru datang itu berjenis rok sepan,, dan sedikit di atas lutut. Sekilas, nampak bedanya penampilan dua wanita dalam angkutan umum tadi. Yang satu berbusana muslimah, sedang lainnya berpakaian you can see. Orang awam pun bisa menilai mana pakaian yang islami dan mana yang bukan islami. Toh demikian, ada satu hal yang seketika menyentak jiwa si wanita berpenampilan “islami”. Akunya, bagaikan disambar geledek di siang hari ketika dia mendengar ucapan dari sosok wanita yang baru datangg tadi masuk kendaraan. Dengan pelan tapi matap, sang wanita yang berpakaian you can see mengucapkan bismillahirrahmanirrahim sebelum kemudian naik dan masuk ke dalam kendaraan.
Kejadian itu sempat membuatnya sok. Jiwanya bergejolak dan mempertanyakan: “bagaimana mungkin, saya dengan penampilan islami tidak mengucapkan basmalah ketika tadi naik kendaraan, sementara wanita di sebelah saya yang berpakaian tidak islami justru mengucapkan basmalah. Manakah yang lebih islami: berbusna muslimah tapi tidak terbiasa menyebut nama Allah saat beraktifitas, atau berpakaian you can see, namun selalu mengucapkan basmalah setiap kali akan melakukan sesuatu?
***
Kisah di atas adalah contoh dari sekian banyak realita dalam memahami hakekat Islam sebagai ajaran serta tuntunan dalam menjalankan hidup. Kalau boleh dipilah, akan nampak gambaran antara simbol dan makna religiuisitas. Berpenampilan secara islami adalah simbol, sementara pengucapan basmalah setiap kali akan melakukan sesuatu menjadi wujud penghambaan seseorang kepada Dzat Yang Maha Kuasa. Pertanyaannya, manakah yang lebih utama diantara keduanya? Mana yang seharusnya didahulukan antara simbol, atau hakekat makna beragama? Sebelum dijawab, ada baiknya jika kita merujuk bagaimana al-Qur’an membahas masalah tersebut.
Pesan dan seruan untuk menangkap makna yang ada di balik segi-segi formal dan lahiri adalah konsekuensi dari berbagai penegasan dalam Al-Quran bahwa selain formalitas-formalitas atau simbol-simbol terdapat makna-makna yang lebih hakiki, yang merupakan tujuan sebenarnya hidup keagamaan atau religiusitas. Misalnya formalitas dalam sistem keagamaan Islam, yaitu sentralitas Ka‘bah yang ada di Masjid Haram, Makkah. Sebagai arah menghadapkan diri atau kiblat di waktu shalat, Makkah dengan Masjid Haramnya yang berintikan Ka‘bah adalah penting sekali, sehingga dalam ilmu fiqih disebutkan bahwa shalat seseorang tidak sah jika tidak menghadap kiblat itu. Dan dalam Al-Quran sendiri terdapat perintah agar di mana pun, ketika shalat, kita menghadapkan diri kita ke arah Masjid Haram itu (Q., 2: 144, 149 dan 150). Tetapi juga ditegaskan bahwa Timur dan barat adalah milik Allah. Maka ke mana pun kamu menghadap, di sanalah Wajah Allah (Q., 2: 115).
Lebih jauh lagi, dalam kitab suci ditegaskan sebagai berikut, Bukanlah kebaikan itu ialah bahwa kamu menghadapkan wajah-wajahmu ke arah timur dan barat. Melainkan kebaikan itu ialah orang yang beriman kepada Allah, hari kemudian, para malaikat, kitab suci, dan para Nabi. Dan orang yang mendermakan hartanya, betapa pun cintanya (kepada harta itu), untuk keluarga dekat, anak-anak yatim, kaum miskin, orang jalanan, peminta-minta dan dalam usaha pembebasan budak. Dan orang yang menegakkan shalat, membayar zakat. Dan orang-orang yang menepati janji bila mengikat janji, dan tabah dalam kesulitan dan kesusahan, juga di waktu peperangan. Mereka itulah orang-orang yang sejati, dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa (Q., 2: 177).
Dari ketegasan di atas, bisa difaham bahwa simbol atau formalitas saja tidak cukup bagi seorang muslim dalam menjalankan agamanya. Menangkap makna atau pesan yang terkandung dalam formalitas ibadah adalah keniscayaan yang justru lebih utama. Percuma saja seseorang rajin menjalankan ibadah nahdlah, semisal shalat, puasa, haji dan sebagainya; tapi tidak mampu menangkap pesan sosial dari ibadah-ibadah tersebut. Ditegaskan: Maka ceakalahh orang-orang yang shalat (yaitu) orang-orang yng lali dari shalatnya, orang-orang yang berbuat riya’ dan enggan (menolong dengan) barang berguna.
Jelas sekali ayat itu menunjukkan semangat penolakan segi-segi formal dan simbolik sebagai tujuan pada dirinya sendiri. “Menghadapkan wajah ke arah timur dan ke barat”, menurut tafsir al-Thabari yang termasyhur, berdasarkan berbagai riwayat atau hadis, adalah isyarat kepada shalat, sehingga makna firman itu ialah bahwa “kebaikan itu bukanlah shalat semata, melainkan kebaikan itu ialah budi pekerti yang Aku (Allah) terangkan ini kepada sekalian”. Meski demikian, penulis tetap melihat perlunya seorang muslim memperhatikan simbol-simbol keberislamannya. Firman Allah: isyhaduu bi anna muslimun (tunjukkanlah bahwa kami adalah orang-orang Islam), memperkuat kewajiban kita untuk membanggakan formalitas dan simbol-simbol Islam.
Sebagai gambaran sederhana, perumpamaan uang dan kebutuhan menggunakannya adalah contoh antara simbol dan makna. Dalam perjalanan, misalnya, saat kita lapar ingin membeli makanan, uang menjadi simbol untuk mendapatkan makanan yang kita butuhkan. Makna kebutuhan uang adalah menghilangkan rasa lapar. Tanpa uang, bagaimana mungkin kita membeli makanan? Dari sini jelas di mana pentingnya posisi simbol. Sebagai ajaran, tentunya ada ciri-ciri khusus pembeda antara simbol-simbol Islam dengan ajaran-ajaran lainnya. Menunjukkan perbedaan formalitas seorang muslim dengan nonmuslim adalahh wujud nyata kebanggaan kepada Islam. Jika seorang muslim sudah menyepelekan simbol-simbol Islam, lantas siapa yang akan membanggakannya? Untuk menyikapi kisah di awal tulisan ini, semuanya terpulang kepada kecintaann serta kebanggaan masing-masing individu kepada agamanya. Wallahu a’lam bi alshawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar