Siapa dan apapun usaha kita, pastinya ingin hasil. Hanya orang yang kurang waras saja yang mau merugi. Usaha jual beli, jelas laba yang dicari. Bercocok tanam, pastilah keuntungan hasil panen yang diharapkan. Nelayan, selalu berharap agar tangkapannya menguntungkan. Usaha bisnis, apa lagi. Dengan modal usaha yang sekecil-kecilnya berharap untung yang sebesar-besarnya.
Secara teologi, tentunya bukan hanya usaha material yang ada kompensasi untung-rugi. Usaha non-material pun, ujung-ujungnya berharap mendapat keuntungan. Amal ibadah hamba kepada Tuhannya adalah contoh usaha non-material yang dimaksud. Seluruh ibadah yang dikerjakan tentu berujung pada harapan mendapat ganjaran.
Allah sendiri yang menegaskan dalam al-Qur’an, bahwa semua amal perbuatan hamba ada balasannya: untung, atau sebaliknya, rugi. Kemungkaran mendapat balasan dosa; sementara kebaikan akan diganjar pahala. Samapai di sini kompensasi untung-rugi bagi amal perbuatan manusia mudah difaham, karena memang proporsional. Keniscayaan merugi akan nampak bagi hamba yang berbuat kebajikan tapi tak mendapatkan ganjaran pahala. Ibarat pedagang, sudah mengeluarkan modal usaha, namun tak mendapatkan hasil.
Seluruh amal kebajikan orang tersebut akan sia-sia belaka. Sedikit-demi sedikit, ganjarannya terkikis lalu habis kalau tidak segera disadari untuk kemudian dibenahi. Siapakah orang yang telah berbuat amal kebajikan dan terhitung sia-sia, alias merugi seperti dimaksud?
Untuk mengantisipasi agar tidak termasuk golongan orang-orang yang merugi dalam beramal, Rasulullah mengingatkan umatnya pada dua hal: menghindari sifat iri dengki; dan tidak segera minta maaf atas kesalahan yang kita perbuat kepada sesama. Akibat menyepelekan dua hal tersebut, semua kebajikan yang kita perbuat, tidak mendapatkan ganjaran setimbal, dan sebaliknya, merugi.
Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Abu Daud, Rasulullah saw. bersabda, “Hindarilah dengki karena dengki itu memakan (menghancurkan) kebaikan sebagaimana api memakan (menghancurkan) kayu bakar.”
Kata Imam Gazali, dengki adalah membenci kenikmatan yang diberikan Allah kepada orang lain dan ingin agar orang tersebut kehilangan kenikmatan itu. Sifat dengki bisa merasup hati orang yang merasa telah kalah. Kalah wibawa, kalah popularitas, kalah pengaruh, atau kalah pengikut. Pastinya, yang didengki adalah pihak yang dianggap menang. Tidak mungkin seseorang merasa iri kepada orang yang dianggapnya lebih “kecil” atau lebih lemah. Sebuah pepatah Arab mengatakan, “Kullu dzi ni’matin mahsuudun.” (Setiap yang mendapat kenikmatan pasti didengki).
Hadits di atas menegaskan kepada kita bahwa sifat dengki itu merugikan. Kerugian pada dasarnya bukan untuk orang yang didengki, melainkan si pendengki itu sendiri. Dalam kitab ‘Aunul Ma’bud, di antara makna ‘memakan kebaikan’, seperti dalam hadits di atas, dijelaskan, “Memusnahkan dan menghilangkan (nilai) ketaatan pendengki sebagaimana api membakar kayu bakar. Sebab kedengkian akan mengantarkan pengidapnya menggunjing orang yang didengki dan perbuatan buruk lainnya. Maka berpindahlah kebaikan si pendengki itu pada kehormatan orang yang didengki; dan bertambahlah pada orang yang didengki kenikmatan demi kenikmatan. Sementara si pendengki akan bertambah kerugian demi kerugian. Sebagaimana yang Allah firmankan, “Ia merugi dunia dan akhirat.” (‘Aunul Ma’bud juz 13:168)
Selain karena sifat iri dengki, enggan meminta maaf atas kesalahan kepada sesama juga menyebabkan terkikisnya ganjaran beramal ibadah seseorang. Tidak hanya itu, keengganan meminta kehalalan atas kedoliman yang telah diperbuat, hakekatnya justru menguntungkan pihak yang didolimi: akan mendapatkan ganjaran kebajikan dari ibadah orang yang telah mendoliminya.
عن أبي هريرة رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلــى الله عليه وسلم:
"من كانت له مظلمة لأحد من عرضه أو شيئ فليتحلله منه اليوم قبل أن لا يكون دينار ولا درهم، إن كان له عمل صالح أخذ منه بقدر مظلمته و إن لم تكن له حسنات أخذ من سيئات صاحبه فَحُمِلَ عَلَيْهِ" (رواه البخاري)
“Barang siapa dianatara kalian yang mempunyai kesalahan kepada seseorang, apakah menyangkut kehormatannya atau apa saja, hendaklah dimintakan halal sekarang juga sebelum uang dinar dan dirham tidak lagi ada gunanya; jika (tidak,) bila dia mempunyai amal saleh, nanti akan diambil dari amalnya itu seukur kesalahannya dan bila tidak memiliki kebaikan, akan diambil dari dosa-dosa orang yang disalahinya dan dibebankan kepadanya”
Jadi jelas sudah, hakekat orang yang merugi adalah mereka yang tidak mampu melatih hatinya membersihkan sifat iri dengki dan membesarkan hatinya untuk berani meminta maaf kepada siapa saja yang pernah didoliminya. Jika dua hal ini terus dibiarkan, bagaikan orang yang mengisi tong air agar penuh, namun kebocoran yang ada di dasar tong tak segera ditambal. Jangan mimpi airnya bisa penuh ke atas. Inilah realita keniscayaan merugi seorang hamba yang sergeb beribadah, tapi tak cukup pandai menata hati. Wallahu a’lam bi al shawab…
2 komentar:
Zul, judulnya salah tulis atau gimana, tuh?
Kenapa dg judulnya?
Posting Komentar