Penggabungan antara kedua iman dan ilmu itu, dengan masing-masing cara pendekatannya, hendaknya ada pada setiap pribadi Muslim. Dan amat berbahaya mencampuradukkan metode pendekatan keduanya itu. Sebab, pada tingkat sebenarnya, penghayatan nilai spiritual/keagamaan bukanlah hasil kegiatan yang serba rasionalistis dan, demikian pula sebaliknya...
Basmalah adalah masdar untuk bacaan “bismilãhi ar-Rahmãni ar-Rahîm”. Sebuah bacaan yang menjadi penanda khusus keislaman seseorang dalam memulai setiap aktifitas. Hal ini bisa jadi karena perintah Rasul yang sekaligus menegaskan kealpaan barakah dari setiap pekerjaan yang tidak dimulai dengan bacaan tersebut; bisa juga sebagai penanda kepasrahan kita yang menjadii khalifah (wakil) Allah di muka bumi ini.
Apa pun alasannya, jika difhami secara mendalam, kandungan kalimat basmalah pada hakekatnya menjelaskan sekularisasi. Indikasinya sederhana saja. Pertama, arti kata bismillâh, yang Indonesianya ialah “Atas nama Tuhan” (tapi biasanya diterjemahkan menjadi “Dengan nama Allah”; hal ini adalah kurang tepat). Perkataan bismillâh itu menunjukkan nilai kegiatan manusia sebagai Wakil, atau Khalifah Tuhan, di bumi. Di situ, secara implisit juga terkandung pengertian adanya ruang kebebasan bagi manusia.
Kedua ialah makna yang terkandung dalam perkataan al-Rahman dan al-Rahim. Keduanya berasal dari akar kata rahmat (kasih). Jadi, baik ar-rahman ataupun ar-rahim adalah bermakna “Yang Maha Kasih”, sebab, keduanya adalah kata sifat. Tetapi mengapa sampai disebutkan sekaligus keduanya, dan tidak cukup salah satu saja?
Hal itu tentu mempunyai maksud yang lebih luas. Para ahli tafsir menerangkan, bahwa al-Rahmân menunjukkan sifat Kasih Tuhan di dunia ini (menurut ukuran-ukuran duniawi), sedangkan al-Rahîm menunjukkan sifat Kasih itu di akhirat (jadi juga menurut norma-norma ukhrawi). Tentang perbedaan norma-norma duniawi dan ukhrawi, telah diterangkan di muka.
Maka Tuhan, sebagai Rahmân, akan selalu memberikan balasan kebaikan di dunia ini bagi mereka yang menjalankan kehidupan duniawi secara tepat. Kasih Tuhan itu tidak bergantung kepada iman atau kepercayaan seseorang, melainkan kepada ilmu pengetahuannya tentang masalah sekular itu. Dan Tuhan, sebagai Rahîm, akan senantiasa memberikan balasan kebaikan di akhirat nanti kepada mereka yang menyiapkan kehidupan ukhrawinya secara benar, yaitu dengan mengikuti ajaran-ajaran agama Tuhan.
Jadi, Kasih al-Rahîm itu bergantung kepada iman seseorang, bukannya kepada ilmu pengetahuannya. Kasih Tuhan sebagai Rahmân diberikan kepada manusia sebagai makhluk masyarakat dalam hubungannya dengan sesama manusia dalam dan alam sekitarnya, dan Kasih Tuhan sebagai Rahîm diberikan kepada manusia sebagai makhluk individu dalam hubungannya dengan Allah semata. Maka dari itu, jika kita menghendaki kebahagiaan di dunia dan di akhirat, kita harus beriman dan berilmu sekaligus, yang kemudian keduanya, iman dan ilmu, itu akan mewarnai amal perbuatan kita. Sebab, amal perbuatan kita, berupa kegiatan keseharian, harus mendapatkan motivasi atau dorongan niat yang benar, sesuai dengan bunyi hati nurani (kalbu, dlamîr atau fuad) yang telah dipertajam, diperpeka dan dihidupkan dengan iman dan ibadah atau kegiatan spiritual, dan diterangi oleh perhitungan ilmiah atau rasional yang tepat.
Penggabungan antara kedua iman dan ilmu itu, dengan masing-masing cara pendekatannya, hendaknya ada pada setiap pribadi Muslim. Dan amat berbahaya mencampuradukkan metode pendekatan keduanya itu. Sebab, pada tingkat sebenarnya, penghayatan nilai spiritual/keagamaan bukanlah hasil kegiatan yang serba rasionalistis dan, demikian pula sebaliknya, masalah-masalah duniawi tidak dapat kita dekati dengan metode spiritualistis. Keduanya mempunyai bidang yang berbeda, meskipun antara iman dan ilmu itu terdapat pertalian yang erat: pertalian antara sumber motivasi, atau dorongan batin (niat), dan keterangan tentang cara yang tepat untuk satu bentuk kegiatan atau amal.
Basmalah adalah masdar untuk bacaan “bismilãhi ar-Rahmãni ar-Rahîm”. Sebuah bacaan yang menjadi penanda khusus keislaman seseorang dalam memulai setiap aktifitas. Hal ini bisa jadi karena perintah Rasul yang sekaligus menegaskan kealpaan barakah dari setiap pekerjaan yang tidak dimulai dengan bacaan tersebut; bisa juga sebagai penanda kepasrahan kita yang menjadii khalifah (wakil) Allah di muka bumi ini.
Apa pun alasannya, jika difhami secara mendalam, kandungan kalimat basmalah pada hakekatnya menjelaskan sekularisasi. Indikasinya sederhana saja. Pertama, arti kata bismillâh, yang Indonesianya ialah “Atas nama Tuhan” (tapi biasanya diterjemahkan menjadi “Dengan nama Allah”; hal ini adalah kurang tepat). Perkataan bismillâh itu menunjukkan nilai kegiatan manusia sebagai Wakil, atau Khalifah Tuhan, di bumi. Di situ, secara implisit juga terkandung pengertian adanya ruang kebebasan bagi manusia.
Kedua ialah makna yang terkandung dalam perkataan al-Rahman dan al-Rahim. Keduanya berasal dari akar kata rahmat (kasih). Jadi, baik ar-rahman ataupun ar-rahim adalah bermakna “Yang Maha Kasih”, sebab, keduanya adalah kata sifat. Tetapi mengapa sampai disebutkan sekaligus keduanya, dan tidak cukup salah satu saja?
Hal itu tentu mempunyai maksud yang lebih luas. Para ahli tafsir menerangkan, bahwa al-Rahmân menunjukkan sifat Kasih Tuhan di dunia ini (menurut ukuran-ukuran duniawi), sedangkan al-Rahîm menunjukkan sifat Kasih itu di akhirat (jadi juga menurut norma-norma ukhrawi). Tentang perbedaan norma-norma duniawi dan ukhrawi, telah diterangkan di muka.
Maka Tuhan, sebagai Rahmân, akan selalu memberikan balasan kebaikan di dunia ini bagi mereka yang menjalankan kehidupan duniawi secara tepat. Kasih Tuhan itu tidak bergantung kepada iman atau kepercayaan seseorang, melainkan kepada ilmu pengetahuannya tentang masalah sekular itu. Dan Tuhan, sebagai Rahîm, akan senantiasa memberikan balasan kebaikan di akhirat nanti kepada mereka yang menyiapkan kehidupan ukhrawinya secara benar, yaitu dengan mengikuti ajaran-ajaran agama Tuhan.
Jadi, Kasih al-Rahîm itu bergantung kepada iman seseorang, bukannya kepada ilmu pengetahuannya. Kasih Tuhan sebagai Rahmân diberikan kepada manusia sebagai makhluk masyarakat dalam hubungannya dengan sesama manusia dalam dan alam sekitarnya, dan Kasih Tuhan sebagai Rahîm diberikan kepada manusia sebagai makhluk individu dalam hubungannya dengan Allah semata. Maka dari itu, jika kita menghendaki kebahagiaan di dunia dan di akhirat, kita harus beriman dan berilmu sekaligus, yang kemudian keduanya, iman dan ilmu, itu akan mewarnai amal perbuatan kita. Sebab, amal perbuatan kita, berupa kegiatan keseharian, harus mendapatkan motivasi atau dorongan niat yang benar, sesuai dengan bunyi hati nurani (kalbu, dlamîr atau fuad) yang telah dipertajam, diperpeka dan dihidupkan dengan iman dan ibadah atau kegiatan spiritual, dan diterangi oleh perhitungan ilmiah atau rasional yang tepat.
Penggabungan antara kedua iman dan ilmu itu, dengan masing-masing cara pendekatannya, hendaknya ada pada setiap pribadi Muslim. Dan amat berbahaya mencampuradukkan metode pendekatan keduanya itu. Sebab, pada tingkat sebenarnya, penghayatan nilai spiritual/keagamaan bukanlah hasil kegiatan yang serba rasionalistis dan, demikian pula sebaliknya, masalah-masalah duniawi tidak dapat kita dekati dengan metode spiritualistis. Keduanya mempunyai bidang yang berbeda, meskipun antara iman dan ilmu itu terdapat pertalian yang erat: pertalian antara sumber motivasi, atau dorongan batin (niat), dan keterangan tentang cara yang tepat untuk satu bentuk kegiatan atau amal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar