PESANTERN BUKAN LAMPU MERCUSUAR
Oleh: Zulfan Syahansyah*
Bagi rakyat Indonesia, tanggal 8 Juli 2009 menjadi catatan hari bersejarah bangsa. Pada hari itu, pesta demokrasi: pilpres tiga pasangan kandidat akan digelar. Pada tanggal yang sama juga, PP. Al-Munawwariyyah secara resmi membuka hari pertama penerimaan santri/wati baru tahun pelajaran 2009-2010.
Seperti halnya tahun-tahun sebelumnya, penerimaan santri/wati baru di pondok yang berlokasi di dusun Ledoan desa Sudimoro ini selalu kedatanagan calon walisantri/wati baru dari seantero Nusantara. Spontan, momen ini akan menjadikan daerah sekitar pondok menjadi padat. Sedikit banyak, acara penerimaan ini akan mengganggu aktifitas para tetangga pondok.
Sebagai penduduk daerah, masyarakat sekitar dimohon kerelaan dan kesediaanya menjadi tuan rumah yang ikhlas dan nrimo. Demikian pinta KH. Muh. Maftuh Said, pengasuh pesantren kepada warga sekitar pondok saat acara tasyakuran penerimaan santri baru di kediamannya, pada Senin malam, 6 Juli 2009 lalu.
Sudah menjadi tradisi PP. Al-Munawwariyyah, sehari sebelum acara penerimaan santri baru, pengasuh pondok selalu mengundang warga sekitar untuk tasyakkuran bersama, sebagai upaya mempererat silaturrahmi pondok dengan masyarakat tetangga. Upaya ini juga sebagai simbol bahwa PP. Al-Munawwariyyah adalah milik bersama. Kiai Maftuh tidak ingin pondok menjadi bagai lampu mercusuar yang hanya menerangi daerah yang jauh, sementara daerah sekitar tetap gelap.
Sejatinya, pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam berkewajiban mengayomi dan mendidik masyarakat sekitar, sebelum terlanjur dikenal sebagai lembaga pendidikan bagi masyarakat secara luas. Hal ini menjadi indikasi pengakuan masyarakat yang berdomisili di sekitar pondok. Bagaimanapun, pengakuan masyarakat sekitar menjadi sebuah komponen penting bagi berdirinya pesantren sacara utuh. Betapapun besarnya sebuah pesantrn, jika terjadi mis-komunikasi dengan masyarakat sekitar, maka keberadaannya sebagai lembaga pengayom ummat menjadi rancu.
Banyak kita saksikan pesantren-pesantren besar berlevel nasional yang bahkan tidak tersentuh masyarakat sekitarnya. Para santri dari luar daerah berdatangan, sementara masyarakat sekitar enggan memondokkan putra-putrinya di pesantren tersebut. Realita ini sungguh ironis. Jika diumpamakan penerang, pesantren yang tak mampu “memikat” penduduk sekitar bagaikan lampu mercusuar. Ia hanya dapat menerangi daerah-daerah yang jauh dari tiang penyanggah, sementara lokasi sekitar tetap gelap tak tersinari.
Menyadari kenyataan inilah, Kiai Maftuh selalu menekankan bahwa cakupan keluarga besar PP.Al-MUnawwariyyah bukan hanya para pendidik dan sekalian santri/wati saja, namun seluruh masyarakat sekitar juga menjadi komponen keluarga yang tak boleh diabaikan begitu saja.
Pengajian rutin setiap malam Jum’at, pendirian Pusat Kesehatan Pesantren (Puskestren) dan semakin banyaknya para tetangga yang memondokkan putra-putrinya di pondok Al-Munawwariyyah adalah contoh nyata kepedulian pondok terhadap masyarakat sekitar. Bak tali bersambut, setiap kali pondok punya gawe, antusia masyarakat sekitar pun turut membantu.
Harapan, semoga keharmonisan PP. Al-Munawwariyyah dengan masyarakat sekitar menjadi potret nyata bahwa pondok pesantren sejatinya tidak hanya dikenal sebagai lembaga pendidikan bagi masyarakat jauh, namun juga mampu mengayomi penduduk sekitar. Maka misi dan visi pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam dapat dirasa masyarakat secara luas pada umumnya, dan penduduk sekitar pada khususnya.
*Pengurus PP. Al-Munawwariyyah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar