Makna Perayaan Idul Adha
Zulfan Syahansyah*
Zulfan Syahansyah*
Saat ini, tepatnya pada tanggal 10 Dzul. Hijjah, ummat Islam di seantaro muka bumi, syarqiha ila garbiha, syamaaliha ila januubiha, (dari ujung timur sampai barat, dari ujung utara hingga selatan) semuanya bersuka merayakan peringatan I’dul adha. Khusus di Makkah, pada sepekan ini, para kaum muslimin yang berkesempatan menunaikan ibadah haji, pada hakekatnya juga sebagai wujud memperingati hari I’dul adha atau udhiyyah Ibrahim, pengorbanan Nabi Ibrahim yang terus diabadikan dalam syari’at Islam. Jadi, baik kaum muslimin yang sedang menunaikan ibadah haji di Makkah, atau kita yang sedang melaksanakan shalat idul adha di luar Makkah, sama-sama berupaya bisa mengambil hikmah dari peringatan ini.
Predikat mabrur bagi jama’ah haji yang berhasil mengambil hikmah dari ibadah hajinya, dan predekat makbul bagi kita yang bisa memahami dan mengamalkan makna hakiki dari penyelenggaraan ini. Maka, mudah-mudahan kita bisa lebih mamahami hakekat I’dul adha dan dapat menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Amien…
Sebagai momentum yang agung, Allah SWT, mengabadikan kisah udhiyatu Ibrhim (pengorbanan Nabi Ibrahim) dalam al-qur’an surah Ash-shafat ayat 102, Allah berfirman:
“Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: "Hai anakku Sesungguhnya Aku melihat dalam mimpi bahwa Aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!" ia menjawab: "Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar".
Sebuah dialog antara seorang ayah dan putranya yang dilandasi ketaqwaan kepada Allah SWT, menjadikan cinta kepada Allah di atas cinta segalanya, bahkan cinta kepada putra satu-satunya Ibrahim pada waktu itu.
Coba kita bayangkan, betapa tulus ketaatan Ibrahim kepada Allah, setelah sekian lama mendambakan keturunan, sampai pada usia senja, melalui istrinya yang bernama Hajar, Ibrahim dikaruniai seorang putra yang kemudian diberi nama Ismail. Namun tidak lama kemudian, karena satu dan lain hal, Allah memerintahkan Ibrahim mengungsikan Hajar bersama si bayi ke sebuah lembah perbukitan yang sangat gersang dan tandus tidak ada tanda kehidupan pada waktu itu, sekarang menjadi Makkah.
Jika hanya menggunakan akal sehat, tidak mungkin seorang ayah akan membiarkan istri bersama putra yang masih bayi dan sangat disayanginya ditempat yang sangat gersang tanpa tempat tinggal. Tapi, Nabi Ibrahim mampu membuktikan bahwa ketaatannya kepada Allah di atas segalanya.
Peristiwa ini terjadi lebih 4 ribu tahun yang lalu. Tapi sampai saat ini terus menjadi catatan sejarah sebagai peringatan atau dzikr bagi umat Islam sampai nanti akhir zaman.
Ada baiknya, jika pada kesempatan pagi ini kita bersama-sama menelaah hikmah atau pelajaran dari peristiwa udhitu Ibrahim tersebut. Setidaknya, ada dua hikmah yang dapat kita petik. Pertama, menjadikan Allah semata, sebagai tuhan yang dituhankan. (laa ilaha illallah), tiada Tuhan selain Allah. Kenapa hal ini perlu kita tegaskan kembali? Karena masih banyak umat Islam –atau mungkin kita sendiri- yang mengakui Allah sebagai Tuhan, tapi tidak sungguh-sungguh menuhankan-Nya.
Dalam hidup, kita masih terlalu membanggakan, memuliakan, dan merasa mulia; karena jabatan, harta, fikiran atau akal kita. Maka segala cara akan kita lakukan untuk mendapatkannya, meskipun harus melanggar norma-norma yang telah ditetapkan oleh Allah. Na’udzubillahi min dzalik.
Kita tanyakan diri kita, sudah berapa kali kita langgar perintah Allah hanya untuk mendapatkan harta, jabatan? Kita bahkan terlalu membanggakan akal kita, hanya untuk kesenangan dunia. Jika demikian, siapa sebenarnya yang kita tuhankan; Allah ataukah kesenangan dunia?
Akhir-akhir ini, sudah banyak bermunculan aliran-aliran di kalangan umat Islam yang sesat dan menyesatkan. Mereka percaya bahwa Allah adalah Tuhan mereka, tapi mereka terlalu menggunakan logika pemikiran untuk mencerna ajaran Islam yang telah ada dalam al-Qur’an dan hadits nabawi, sehingga segala keputusan yang tidak masuk dalam akal mereka, atau kurang menguntungkan, dengan dalih; demi kemanusiaan, dan keadilan mereka mencoba membuat pemahaman sendiri, mengganti ajaran yang sudah ada.
Kelompok ini lupa, bahwa Allahlah yang menciptakan mahluk; termasuk manusia, jadi Allah lebih tahu tentang arti kemanusiaan. Allah juga dzat ahsanul haakimin (dzat yang maha adil) maka tidak ada keputusan yang lebih adil dari apa yang telah ditetapkan oleh Allah melalui Nabi Muhammad.
Jadi, kalau kita telah berikrar bahwa tiada Tuhan selain Allah, maka tuhankanlah Allah dan jangan sekali-kali menyekutukan-Nya. Jangan sekutukan Allah dengan; harta, kekuasaan, jabatan serta akal kita. Caranya; jadikan urusan Allah di atas segalanya, dan bahwa aqidah yang telah dicontohkan Nabi Ibrahim dan dipertegas oleh Nabi Muhammad sebagi Nabi terakhir, harus kita jadikan manhaj atau jalan dalan menjalankan kehidupan di dunia ini.
Hikmah atau pelajaran selanjutnya yang bisa kita ambil dari perayaan ‘idul adha ini adalah bahwa Allah sekali-kali tidak akan pernah menyia-nyiakan pengorbanan, baik yang berbentukn perjuangan dan pengabdian; tenaga, pikiran serta shadaqah atau infaq, yang tulus. Pasti akan Allah ganti jauh lebih bermanfaat bagi kita dari apa yang telah kita keluarkan.
Ketika Nabi Ibrahim bersiap menghunuskan pedangnya untuk menyembeleh Ismail, spontan Allah mengganti dengan seekor kambing yang besar sebagai symbol kelulusan. Maka semestinya kita juga wajib meyakini bahwa apapun yang telah kita korbankan; baik harta, tenaga serta pikiran yang dilandasi lillahi ta’ala, pasti telah Allah siapkan balasannya yang jauh lebih bermanfaat bagi kita dari apa yang telah kita keluarkan.
Sekali lagi, fikiran, tenaga, serta harta yang kita shadaqahkan, pada hakekatnya adalah sebuah investasi yang akan terus berlipat ganda dan akan dikembalikan lagi kepada kita. Dalam hal ini, Allah SWT, menegaskan firmannya dalam surat al-Baqarah ayat 261.
“Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah, adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh butir, pada tiap-tiap butir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang dia kehendaki. dan Allah Maha luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.”
Dalam tafsiran ayat ini dijelaskan, bahwa pengertian menafkahkan harta di jalan Allah meliputi; belanja untuk kepentingan jihad, pembangunan perguruan atau lembaga pendidikan, rumah sakit, usaha penyelidikan ilmiah.
Karena keterbatasan pengetahuan dan ilmu, mungkin hanya ini yang dapat saya sampaikan sebagai pelajaran atau hikmah yang dapat kita ambil dalam peristiwa udhiyatu Ibrahim, saya yakin masih banyak lagi pelajaran yang bermanfaat bagi kita. Wallahu a’lam bissawab.
*Pengurus PP. Al-Munawwariyyah.
Penulis juga telah memaparkan isi makalah di atas
saat menjadi khatib Idul Adha (20/12/07) di masjid jami’ al-Muttaqin
Sudimoro, Bululawang, Malang.